Laksamana Cheng Ho
Setelah bermukim di negeri Campa, Syekh Quro datang kembali ke negeri Padjadjaran kembali beserta Rombongan para santrinya, dengan menggunakan Perahu dagang sebagian ahli sejarah mengatakan beliau ikut bersama rombongan titian muhibah laksamana Cheng Ho (nanti akan dibahas dibawah ini). Dalam rombongan yang bersama beliau diantaranya adalah, Nyi Mas Subang Larang, Syekh Abdul Rahman. Syekh Maulana Madzkur dan Syekh Abdilah Dargom.
Setelah Rombongan Syekh Quro melewati Laut Jawa dan Sunda Kelapa dan masuk Kali Citarum yang waktu itu di Kali tersebut ramai dipakai Keluar masuk para pedagang ke Pajajaran, akhirnya rombongan beliau singgah di Pelabuhan Karawang.
Menurut Buku Sejarah Jawa Barat Oleh Yosep Iskandar, tahun 1997 Halaman 250, Syekh Quro masuk Karawang sekitar 1416 M.
Syekh Quro masuk bersama rombongan besar titian muhibah Laksamana Cheng Ho. Armada Cheng Ho sendiri berangkat atas perintah Kaisar Cheng-Tu atau Kaisar Yunglo, Kaisar Dinasti Ming yang ketiga. Armada laut itu berjumlah 63 kapal, dengan prajurit lautnya sebanyak 27.800 orang termasuk Syekh Quro dan rombongannya.
Oleh Karena Syekh Quro atau Maulana Hasanuddin atau Syekh Hasanuddin bermaksud menyebarkan agama islam, Laksamana Cheng Ho mengizinkan, apalagi Cheng Ho dan Syekh Quro sama-sama ahlul bait. Dalam Pelayarannya menuju Majapahit Armada Cheng Ho singgah disebuah daerah yang bernama Pura, nah saat di Pura inilah rombongan besar Syekh quro turun, sedangkan armada cheng ho menuju muara jati cirebon dan beristirahat seminggu lamanya untuk kemudian melanjutkan perjalanan ke Jawa timur.
Syekh Hasanuddin tinggal beberapa lama di Pura Karawang dibawah kegiatan Pemerintahan dan kewenangan Jabatan Dalem (masih bawahan pajajaran). Karena rombongan Syekh quro tersebut, sangat menjunjung tinggi peraturan kota Pelabuhan, aparat setempat sangat menghormati dan memberikan izin untuk mendirikan Mushola ( 1418 Masehi) sebagai sarana Ibadah sekaligus tempat tinggal mereka.
Setelah beberapa waktu berada di pelabuhan Karawang, Syekh Quro terus menyampaikan Dakwah-dakwahnya di Mushola yang dibangunnya (sekarang Mesjid Agung Karawang). Dalam berdakwah ajaran Syekh Quro mudah dipahami dan mudah diamalkan, ia beserta santrinya juga memberikan contoh pengajian Al-Qur’an menjadi daya tarik tersendiri di sekitar karawang.
Di tempat ini pula Syekh Quro menikah dengan Ratna Sondari, Putri Penguasa daerah Karawang yaitu bernama Ki Gedeng Karawang, dari pernikahannya beliau memperoleh putra yang dikenal dengan nama Syekh Ahmad, yang selanjutnya menjadi penghulu (na’ib) pertama di Karawang. Cucunya Syekh Ahmad dari putrinya Nyi Mas Kedaton bernama Musanudin yang kelak menjadi lebai di Cirebon dan memimpin tajug sang cipta rasa pada masa pemerintahan susunan jati.
Nyi Subang Larang
Ulama besar ini sering mengumandangkan suara Qorinya yang merdu bersama murid-muridnya, Nyi Subang Larang, Syekh Abdul Rohman, Syekh Maulana Madzkur dan santri lainnya seperti , Syekh Abdiulah Dargom alias Darugem alias Bentong bin Jabir Modafah alias Syekh Maghribi keturunan dari sahabat nabi (Sayidina Usman bin Affan).
Berita kedatangan kembali Syekh Quro, rupanya terdengar oleh Prabu Angga Larang yang pernah melarang penyebaran agama islam di tanah Jawa, sehingga Prabu Anggalarang mengirim utusannya untuk menutup kembali pesantren Syekh Quro.
Rupanya ketidak sukaan Raja ini belum pupus terhadap ajaran Islam. Utusan yang datang kali ini ketempat Syekh Quro adalah Putra Mahkota Kerajaan Pajajaran sendiri yang bernama Raden Pamanah Rasa (kelak bernama Prabu Siliwangi, raja pajajaran yang legendaris).
Sesampainya di pesantren tersebut sang putra putra mahkota tersebut justru hatinya tertambat oleh alunan suara yang merdu yang dikumandangkan oleh Nyi Subang Larang, ”dalam mengalunkan suara pengajian Al-Qur’an,”. Nyai Subang Larang bin Ki Gedeng Tapa adalah Alumnus pertama Pesantren Quro Dalem Karawang, pesantren Pertama Di Jawa Barat yang didirikan oleh Syekh Quro tahun 1416 Masehi.
Silsilah Nyai Subang Larang sendiri masih merupakan kerabat dekat kerajaan pajajaran, sehingga mau tidak mau penguasa pajajaran juga merasa serba salah menyikapi adanya pesantren ini, apalagi dalam berdakwah pondok pesantren ini tidak melakukan kekerasan, pendekatan dakwah pesantren adalah persuasif, damai, santun dan cerdas.