oleh

Hargai Sikap Wartawan dan Media untuk Mempublikasikan Sesuatu

-Berita-303 Dilihat

Oleh: Sukmadji Indro Tjahyono

PASCA Reuni 212 ada dua isu yang mencuat. Celakanya isu itu bukan penilaian positif terhadap reuni yang telah berhasil dihadiri oleh ribuan massa. Melainkan,  pertama,  berkembangnya isu tentang peliputan media massa yang sangat minim. Kedua, debat tentang jumlah massa yang kontradiktif, apakah berjumlah ribuan atau jutaan.

Kalau soal jumlah massa perdebatannya bisa diselesaikan secara rasional, tetapi soal mengapa media massa tidak melakukan peliputan maksimal, hal ini masih mengganjal dan terus berlanjut sampai saat ini.

Kenapa hal itu terjadi? Karena kita umumnya tidak atau belum memahami perkembangan karakter pers atau media massa secara kontemporer.

PERS BELA KEPENTINGAN UMUM DAN BUKAN KEPENTINGAN KELOMPOK

Pers (cetak) yang kredibel ini merupakan trend baru ketika muncul  persaingan dengan media sosial/medsos (elektronik). Medsos saat ini merupakan manifestasi dari pers warga dalam membela kepentingan domestik warga atau komunitas kecil. Berangkat dari sini media massa mencoba fokus mengusung kepentingan kolektif non-domestik. Namun selain itu media massa cetak juga ingin lebih kredibel dengan tidak mempublikasikan kepentingan faksional dan partial.

Hal inilah yang melahirkan idealisme dalam tubuh pers dan insan pers, di balik tuduhan bahwa pers dikendikan oleh pemilik modal. Pers tidak lagiingin jadi tukang berita yang diperalat oleh sumber berita. Hal inilah yang melahirkan AJI (Asosiasi Jurnalis Indipenden) yang kritis terhadap mana kepentingan mayoritas dan mana kepentingan minoritas yang kental dengan motif  politik. Atau ada kesadaran kritis pers untuk membedakan mana yang murni dan tidak murni, mana yang prorakyat dan anti rakyat, mana yang jujur dan rekayasa.

Kesadaran ini mengubah secara mendasar , sehingga integritas insan pers tidak lagi sekedar menjalankan 4 W + 1 H. Pers kendati milik publik dan salah satu pilar demokrasi, juga ingin berposisi berpihak pada kebenaran dan keadilan. Pendeknya era pers sebagai budak dalam pemberitaan sudah berakhir.

MENGHINDARI PENYIMPANGAN MORAL

Media massa sebenarnya ingin mengejar otentitas dan reabilitas berita. Hal ini sekaligus merupakan keinginan instrinsik pers untuk membangun kejujuran sebagai hal yang urgent. Karena informasi yang jujur dari masyarakat akan ditempatkan dalam peringkat tertinggi pemberitaan. Pers juga tidak mengurangi keterlibatan dalam merekayasa berita sekedar menjadi originator pemberitaan.

Di Amerika pada tahun 1970-an pers ingin meliput pertandingan basket yang sangat seru. Pers berkeyakinan akan ada baku hantam dan ada korban tewas di akhir pertandingan. Info awal sudah diterima,namun pers tidak melaporkan hal ini ke polisi.

Alih-alih melaporkan atau mencegah, pers justru ingin membiarkan dengan meliput secara live sampai ada korban meninggal. Mereka berpikir ini akan menjadi berita yang sangat menarik dan membuat medianya menjadi populer. Namun publik Amerika melaporkan hal ini ke pengadilan, karena pers telah melakukan pelanggaran moral (moral hazzard). Pers dinyatakan salah dan kalah dalam pengadilan.

Namun saat ini masih ada pers yang menuhankan rating dengan memuat berita sekalipun terancam tuduhan moral hazzard ini. Di Jepang ada larangan untuk tidak menyiarkan secara vulgar korban-korban bencana gempa agar tidak menciptakan trauma publik. Di Indonesia masih ada pers yang dengan dalih realita menyuguhkan berita hasil sadisme.

MAKIN BERESIKO

Prinsip pers bebas atau kebebasan pers juga kini sedang di persimpangan jalan. Setelah prinsip ini diterapkan paska Reformasi, dan ada periode euforia kebebasan pers, kini pers juga sedang melakukan evaluasi. Pasalnya ternyata kebebasan pers ini tidak didukung oleh penegakan hukum yang memadai.

Ada ratusan wartawan yang menjadi korban dari kekerasan yang dilakukan oleh orang-orang yang merasa tidak puas dengan pemberitaan. Selain menderita penyiksaan dan cacat, mereka juga ada yang hilang dan tewas. Ini membuktikan bahwa transparansi publik hanya cditerapkan setengah-setengah.

Bahkan beberapa kali kelompok radikal melakukan demo terhadap kantor redaksi surat khabar atau media massa. Padahal pers saat ini sepenuhnya sudah adil dalam mengungkap aspirasi kedua belah pihak (cover both sides). Karena tingginya resiko pemberitaan terkait acara kelompok radikal ini, maka media massa berkurang dalam memberitakan acara yang diselenggarakan oleh kelompok radikal.

MUNCULNYA PERS SKEPTIS

Kebebasan pers, telah memungkinkan semua informasi dari masyarakat dipublikasikan secara luas. Namun muncul efek reperkusif yang hebat yakni secara langsung dan tidak langsung masyarakat telah menempatkan media massa sebagai alat untuk mempublikasikan kegiatan-kegiatan mereka. Hal ini selanjutnya  membuat masyarakat melakukan rekayasa untuk membuat acara yang layak siar atau tayang.

Dalam hal ini pers harus mampu menyaring mengenai substansi acara dengan seluruh latar-belakangnya. Selain itu juga tentang segala implikasi yang ditimbulkan. Pada era Orde Baru model ini disebut bentuk dari pers yang bertanggungjawab. Namun saat ini ukuran tanggungjawab ini tidaklah jelas.

Hal ini melahirkan pers yang ultra hati-hati, khususnya dalam meliput acara yang sarat dengan rekayasa. Pers tidak mau dituduh menyiarkan khabar bohong. Dalam kasus Ratna Sarumpaet peliputan pers sangat luar-biasa. Namun ternyata ini berita isapan jempol. Seperti yang terjadi pada tahun masa sebelumnya (1960-an), misalnya kasus Markonah Raja Raja Kubu_ dan Cut Sahara Fonna.

DELIK PERS YANG MULUR MUNGKRET

Walaupun saat ini kebebasan pers  sudah terwujud, namun di lain pihak justru menimbulkan kengerian di kalangan pers. Ada banyak delik aduan dan delik umum yang membayang -bayangi kerja insan pers. Apalagi dengan kondisi penegakan hukum dan lembaga peradilan yang bobrok.

Untuk setiap persoalan terkait informasi yang dianggap merugikan justru media massa yang dijadikan sasaran. Padahal pers mendapat informasi dari narasumber yang jelas. Namun adanya hak tolak menyebut identitas nara sumber itulah yang sering dipermasalahkan.

Masyarakat tidak puas walau telah diberi kesempatan melakukan hak jawab. Kantor redaksi bahkan digruduk dan dirusak oleh massa. Bahkan ada yang melakukan gugatan , namun dengan tujuan melakukan pemerasan terhadap pers.

Ketakutan lembaga peradilan dan juga adanya oknum di dalamnya yang korup, membuat pers menjadi korban dari ketidakadilan. Hal ini membuat pers harus lebih ekstra waspada terhadap informasi yang masuk. Akibatnya perlu dilakukan observasi yang membutuhkan waktu. Sedang pada saat observasi selesai, beritanya sudah basi.

Dalam hal Reuni 212 ,bisa dibayangkan akibatnya jika pers melakukan observasi terhadap jumlah massa yang hadir, kemudian menyiarkan dalam pemberitaan. Pers tentu akan babak belur dihakimi massa. Sedangkan massa sendiri telah menuduh dan priori terhadap media massa serta telah menempatkan dalam blok pro dan kontra. Bahkan ada poster-poster yang memprovokasi dan mengancam media massa yang dianggap telah berpihak.

PENTINGNYA NALURI DAN AKAL SEHAT

Penggunaan akal sehat atau common sense sebagai modal dasar pemberitaan adalah sangat penting. Mungkin juga tidak cukup akal sehat, namun pemikiran ilmiah atau intelektual. Berita secara substansial harus ditelaah apakah hal itu logis dan benar menurut akal sehat. Sebelum dibongkar, banyak pemberitaan mengenai Dimas Kanjeng sang pengganda uang. Setelah dibongkar kasusnya , pers sadar bahwa penggandaan uang secara klenik adalah bohong.

Nara sumber jelaslah harus terpercaya, sehingga berita yang berasal darinya juga merupakan kebenaran. Kalau ada berita tentang seseorang yang menyatakan dirinya ketirunan orang-orang suci dan orang besar, pers wajib melakukan telaah. Karena berita yang benar bersumber dari narasumber yang dipercaya. Ini akan mencegah pers tidak larut dalam _setting_ pemberitaan tertentu.

Di era sekarang kalau pers masih memberitakan tentang logika bahwa _bumi datar, ini sangat masghul. Dari sinilah kini pers memilih pemberitaan yang investigatif. Beberapa media massa terkenal, tidak terburu-buru melakukan pemberitaan sampai jelas duduk perkaranya. Mereka memilih terlambat memberitakan daripada terjebak dalam pemberitaan isu hoax.

Hal itu tidak berarti pers menolak memberitakan keburukan atau kebaikan, karena keduanya membantu pengambilan keputusan publik. Namun pers perlu  menunggu sehingga satu informasi mendapat sedikit aseptibilitas dan keabsahan sosial dan politik. Saat ini memberitakan kelompok penganjur khilafah tentu tidak masuk akal karena konstitusi yang ada tidak memungkinkan. Kecuali lingkungan strategis sosial global memang cenderung menerima khilafah sebagai sistem kenegaraan.

Penulis adalah aktivis pergerakan 1977/1978

(yus/gah)