oleh

Empat Dekade Sejarah Musik Kota Malang Era 60-90 “No History No Future”

Malang, (malangkota.go.id) –Dengan puji syukur Tuhan YME akhirnya buku Empat Dekade Sejarah Musik Kota Malang Era 60-90 bisa tertuang dalam sebuah buku. Tentu banyak cerita, baik pengalaman pahit maupun manis. Karena dari kota ke kota hanya mengejar pencarian data yang otentik.

Sang penulis buku, Arief Wibisono, S.Sos menunjukkan buku hasil karyanya

Sekelumit cerita di tahun 2001, Arief Wibisono berangkat dari Kota Malang menuju ibu kota Jakarta menelusuri kembali band Kota Malang di era tahun 60 hingga 70-an, antara lain Band Jaguar, Band Bentoel, dan Elpamas. Banyak cerita apabila ditelusuri kembali sejarah musik Kota Malang berawal dari band pesta rumahan sampai menjadi band panggung.

“Kenapa saya tarik data mulai era 60-an? Sejak pascakemerdekaan belum banyak pergerakan tentang musik. Musik di era penjajahan Belanda hanyalah untuk sebuah pesta. Dari sini telinga tentang musik modern mulai didengar walau suara gamelan berkumandang di sudut langit nusantara,” ujar Arief Wibisono, Senin (10/5/2021).

Malang sempat mendapat julukan Kota Barometer Musik, yang menjadi patokan barometer adalah tingginya kepekaan selera musik arek–arek Malang pada saat itu. Banyak musisi yang keder apabila main atau show di Kota Malang. Mahalnya pendengaran musik arek-arek Malang dalam mengapresiasi tentang sebuah karya musik.

“Apabila permainan musik tidak sesuai permainan musik aslinya jangan harap pulang dengan tenang, lemparan sandal atau kursi pertunjukan menjadi sarana kekesalan penonton musik Kota Malang. Dapat disimpulkan bahwa mendapat predikat Barometer Musik Indonesia berarti penontonnya bukan seniman atau pelaku musiknya,” ceritanya.

Rangkuman Empat Dekade Sejarah Musik Kota Malang Era 60-90 adalah sebuah kumpulan data dokumentasi sejarah musik yang dimiliki Kota Malang. Mulai peradaban musik dari genre pop ke musik rock sampai tempat gedung pertunjukan jelas semua terdata dengan jelas.

“Perjalanan mahal tentang karya seniman musik Kota Malang kalau tidak dibukukan secara otentik akan muncul sebuah dongeng usang buat generasi berikutnya,” sambungnya. (Arief Wibisono/say/ram)