oleh

Ditangkapnya Romy, Elektabitas Jokowi dan Kisah Dick Morris

-Berita-433 Dilihat


Oleh: Denny JA

SEBERAPA besar efeknya kepada elektabilitas calon presiden? Jika seseorang yang sangat dekat terasosiasi kepada calon presiden, lalu ia ditangkap, bertubi- tubi menjadi berita, akankah  kasusnya mengurangi elektabilitas secara signifikan calon presiden yang ia dukung?

Itulah pertanyaan yang saya formulasi ulang agar menjadi universal. Pertanyaan yang sebenarnya jauh lebih spesifik. Yaitu ditangkapnya ketum PPP, yang populer disebut Romy, oleh KPK.

Tak terbantahkan dan tak perlu pula dibantah, publik memang menyaksikan kedekatan Romy dengan Jokowi.

Adalah Romy yang mendampingi Jokowi menjumpai kiai berpengaruh  yang dipanggil Mbah Maimoen. Adalah Romi juga yang acapkali menceritakan kriteria cawapres untuk Jokowi. Adalah Romi pula yang sering memposting videonya yang nampak akrab dan bersahabat dengan Jokowi.

Ketika tulisan ini dibuat, status Romy belum jelas. Apakah ia aka menjadi tersangka atau hanya saksi atau lainnya. Namun apapun statusnya kelak, pertanyaan soal pengaruh kasus Romy terhadap elektabilitas Jokowi bisa dijawab berdasarkan analogi kasus lain.

Dan itulah kisah Dick Morris di Amerika Serikat, era kampanye presiden Bill Clinton tahun 1996.

000

Dibandingkan hubungan Romy dengan Jokowi, jauh lebih dekat dan lebih panjang hubungan Dick Morris dengan Bill Clinton. Mendengar nama Dick Morris kala itu seketika publik terbayang wajah Bill Clinton.

Dick Morris konsultan politik yang mendampingi Clinton sejak ia bertarung menjadi gubernur Arkansas tahun 1978. Di tahun 1992, Bill Clinton terpilih sebagai presiden Amerika Serikat. Dua tahun kemudian, 1994, partai oposisi mengalahkan partainya Clinton dalam pemilu mid term.

Segera Clinton merasa, ini sinyal berubahnya dukungan pemilih. Jika tak ada perubahan besar, Clinton akan dikalahkan dalam pemilu presiden berikutnya, tahun 1996.

Saat itulah Clinton mengajak kembali Dick Morris bergabung. Kedekatan mereka menjadi berita banyak media. Apalagi, Dick Morris membawa perubahan besar dalam kebijakan Clinton.

Ujar Dick Morris kepada Clnton, public mood sudah berubah. Kebijakan partai oposisi, yang lebih pro pada pajak yang diperkecil, program kesejahteraan yang tak terlalu membebani, terbukti unggul. Itu memang khas platform partai Republik.

Morris meminta Bill Clinton membawa kebijakannya ke tengah, dari Partai Demokrat yang kiri, menjadi moderat, bahkan menyerupai Partai Republik.

Menjelang Pilpres 1996, saingan Bill Clinton dari Partai Republik dipastikan Bob Dole. Ujar Dick Morris, untuk kebijakan publik Bob Dole yang disukai pemilih, ikuti saja. Bill Clinton cukup katakan kebijakan  yang mirip-mirip saja.

Saat itulah kemudian Clinton dicibiri dengan istilah “Me- Too- Ism. Apapun yang Bob Dole katakan yang populer, Clinton segera mengatakan, kebijakan saya juga begitu: Me- too. Akibatnya pemilih melihat kebijakan yang tiada beda. Ujar Dick Morris akhirnya yang akan dipilih adalah calon yang lebih berpengalaman. Clinton akan unggul.

Peran Dick Morris di balik kebangkitan Clinton begitu hebat. Bahkan Time Magazine menjadikannya cover story. Wajah Dick Morris terpampang di cover utama dengan judul: The Man Who Has Clinton’s Ear. Tokoh pembisik yang sangat didengar dan diikuti Clinton.

Aneka jajak pendapat saat itu menunjukkan meroketnya kembali Bill Clinton. Publik yang tadinya merasa Clinton akan dikalahkan Bob Dole berbalik.

Di saat itulah skandal Dick Morris terjadi. Dua bulan menjelang hari pencoblosan, Dick Morris direkam media bersama seorang pelacur langganan. Bukan kasus pelacur itu sendiri yang dimasalahkan. Tapi ada bukti, bahkan Dick Morris membiarkan sang pelacur kadang mendengar percakapan dan nasehat Dick Morris untuk Bill Clinton.

Segera kisah Dick Morris menjadi top hit! Begitu banyak sensasi bisa diangkat dari skandal itu. Bukan saja isu perselingkuhan. Bukan saja kisah media yang bekerja sama dengan aneka pihak untuk merekam peristiwa itu. Bukan saja publik menyama-nyamakan Dick Morris dengan Bill Clinton sebagai Womanizer (berhubungan atau love affair dengan beberapa wanita).

Yang berat adalah ketika sang pelacur itu bercerita aneka nasehat yang disampaikan Dick Morris kepada Clinton, yang sempat ia dengar.

Heboh Dick Morris dalam hubungannya dengan Clinton jauh lebih dalam dan sensasional ketimbang kasus Romy dan Jokowi saat ini. Di tahun 1996 itu, saya sedang belajar di Amerika Serikat. Bahkan kadang saya tak memperhatikan tugas kuliah karena lebih asyik memburu dan mengikuti skandal itu.

Apa yang terjadi dengan Bill Clinton? Ia tetap terpilih menjadi Presiden Amerika Serikat mengalahkan Bob Dole pada pilpres 2016. Dua hal ini  yang dilakukan.

Pertama, publik diyakinkan dan memang sesuai dengan common sense, skandal Dick Morris itu ulahnya pribadi. Kasus itu sama sekali tak ada hubungannya dengan kerja dan program calon presiden Bill Clinton. Efek buruk skandal itu hanya terisolasi pada Dick Morris saja, tidak pada Clinton.

Kedua, ada kesadaran Dick Morris. Ia tak ingin kasusnya memberatkan karena selalu dihubung-hubungkan dengan Clinton. Dick Morris pun mengumumkan ia ingin konsentrasi pada kasusnya. Ia mundur dari team kampanye Presiden Clinton.

Clinton menerima pengunduran diri Dick Morris. Namun dalam pernyataan publik, Clinton tetap menyebut Dick Morris sebagai teman.

-000-

Hal yang sama dengan kasus Romi. Ketika tulisan dibuat, belum banyak kita tahu detail kesalahan Romi. Selentingan kita dengar itu masalah jual beli jabatan di kemenag.

Publikpun dapat membedakan. Itu kasus sepenuhnya kerja pribadi Romy. Tentu saja Romy mungkin menggarap kasus itu berjemaah jika itu nanti terbukti. Namun yang dimaksud kerja pribadi, kasus itu tak ada hubungan dengan karakter dan program Jokowi. Publik cukup cerdas membedakannya.

Akankah Romy menempuh jalan seperti Dick Morris mengundurkan diri dari Tim kampanye calon presiden? Tentu tergantung apakah Romy menjadi tersangka atau tidak? Tergantung dari parah atau tidak tingkat kesalahannya.

Dalam ilmu logika dikenal satu fallacy, kesalahan berpikir yang disebut Guilt by Association (association Fallacy). Seseorang disalahkan karena ia terasosiasi atau diasosiasikan dengan orang yang salah.

Katakanlah jika Romy salah, lalu dengan  semena-mena menyatakan siapapun yang terasosiasi dan dekat dengan Romy juga otomatis salah.

Era kampanye bisa saja menggunakan dengan sengaja dalam opini publik teknik Guilt by association. Romy yang kena, Jokowi dibawa-bawa. Tapi umumnya publik dapat membedakan.

Tapi jangan lupa, opini publik pun dapat diputar balik. Kasus ditangkapnya Romy bisa menjadi isu yang positif bagi Jokowi.

 Itu justru pertanda, KPK dan pemerintahan Jokowi tak pandang bulu soal korupsi. Tak peduli, ia lawan atau kawan. Bahkan orang dekat seperti Romy sekalipun, jika memang secara hukum dibuktikan bersalah, ia tetap dihukum!

Itulah asyiknya politik.  Fakta yang sama  bisa  melahirkan persepsi yang berbeda. Dan publik umumnya memilih bukan karena fakta tapi karena persepsi!!

Penulis adalah konsultan politik sekaligus founder LSI.