JAKARTA, kabarSBI.com – Badan Keahlian (BK) Sekretariat Jenderal DPR RI menerima masukan dari Fakultas Hukum (FH) UGM terkait perubahan UU Perlindungan Konsumen. Dalam kesempatan itu, Kepala BK DPR RI Inosentius Samsul mengatakan ada dua aspek dalam menyusun Naskah Akademik dan Rancangan Undang-Undang, yaitu dari segi mekanisme dan segi substansi.
Hal itu disampaikan Inosentius dalam Focus Group Discussion (FGD) yang diselenggarakan oleh Pusat Perancangan Undang-Undang (PUU) Sekretariat Jenderal DPR RI dengan tema Urgensi Perubahan atas Undang-Undang Nomor 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen di Auditorium Fakultas Hukum UGM, Sleman, Provinsi DIY.
“Saya kira ada dua aspek yang harus saya sampaikan. Pertama, dari segi mekanisme prosedur bahwa kegiatan hari ini merupakan salah satu bentuk dari keterlibatan akademisi, stakeholder, dan masyarakat terkait pembentukan undang-undang, khususnya dalam menyusun Naskah Akademik dan Rancangan Undang Undang,” ujar pria yang kerap disapa Sensi itu, Jumat (13/1/2023).
Sensi berharap kesempatan ini betul- betul dimanfaatkan untuk mencatat masukan-masukan dari masyarakat. Serta, adanya pengawalan yang terus-menerus mengenai proses mulai dari persiapan naskah akademik sampai pada pembahasan di komisi dengan pemerintah.
“Kami berharap bahwa kesempatan ini akan kami manfaatkan betul-betul mencatat lalu kemudian mengolah bahan masukan dari masyarakat. Tidak berhenti hari in, terus bergulir pada proses penyiapan naskah akademik lalu kemudian pembahasan di komisi bersama dengan pemerintah. Serta berharap hubungan dengan universitas dalam hal ini, UGM, terus bersama-sama sampai menghasilkan undang-undang,” tutur Sensi.
Selain dari segi mekanisme, aspek substansi juga menjadi hal yang penting dalam menyusun Naskah Akademik dan Rancangan Undang-Undang. Terlebih tentang Undang-Undang Perlindungan Konsumen yang dinilai memang sudah saatnya untuk lebih disesuaikan dengan masyarakat Indonesia saat ini.
“Substansi Undang-Undang Perlindungan Konsumen ini memang sudah banyak yang ketinggalan. Baik itu ukuran kebutuhannya apa, standar hukum secara nasional maupun secara internasional. Jadi, kalau kita bandingkan dengan negara lain, norma hukum perlundungan konsumen kita sudah banyak ketinggalan. Padahal manusia Indonesia yang enggak beda juga dengan konsumen di negara lain. Maka kita harus memperbaiki standar kualitas agar kita lebih memanusiakan masyarakat Indonesia. Belum lagi soal doktrin-doktrin yang akan kita kembangkan dalam standar nasional untuk ada pembaruan,” papar Sensi.
Di sisi lain, Sensi juga menyampaikan bahwa Hukum Perlindungan Konsumen merupakan hukum ekonomi yg bersifat umum. Jadi, sepenuhnya sebagai hukum bisnis. Dengan kata lain, menurutnya, Hukum Perlindungan Konsumen merupakan hukum ekonomi yang bersifat publik.
Meskipun, transaksi dalam perdagangan bersifat privat yang seolah-olah hanya berkaitan dengan persoalan perdata. Namun, transaksi tersebut memiliki nilai-nilai publik. Sehingga, sanksi pidana menjadi penting dalam perlindungan konsumen. Praktik di beberapa negara, menurutnya, menggunakan sanksi pidana itu lebih efektif. Oleh karena perusahaan atau pelaku usaha dinilai takut jika namanya tercemar lalu dipidana.
“Karena di penjara itu kan sesuatu yang mempengaruhi bisnis juga. Jadi, memang dalam Undang-Undang Perlindungan Konsumen tetap akan ada sanksi pidana. Tetapi formulasinya bagaimana dikombinasikan dengan sanksi administrasi itu akan dilakukan dan tetap ada,” jelas sensi.
Terakhir, Sensi mengungkapkan bahwa Hukum Perlindungan Konsumen di Indonesia belum menerapkan unsur tanggung jawab mutlak (strict liability). Sedangkan di negara lain sudah menerapkan hal itu.
“Selama ini di bidang Hukum Perlindungan Konsumen memperdebatkan kenapa di negara kita belum menerapkan strict liability, di negara lain sudah. Nah, saya merasa dukungan yang kuat kemarin ketika UU KUHP itu sudah mengadopsi itu. Jadi tidak ada keraguan lagi. Perdata oke, pidana juga oke. Jadi, berjalan selaras,” pungkas sensi. (mri/rdn/red)